salah satu budaya banyumas

Dahulu menjadi teman sepi para para petani, sekarang hanya tinggal empat orang yang bisa memainkannya. Gandaliya merupakan salah satu kesenian asli Banyumas yang perlu dilestarikan Terbuat dari bahan bambu. Bentuknya mirip angklung, hanya saja ukurannnya lebih besar. Selain itu, berbeda dengan angklung yang bisa menghasilkan nada yang sama dengan tangga nada-nada pada umumnya. Pada gandalia hanya empat jenis nada yang dihasilkan yaitu ro (2), Lu (3), mo (5) dan nem (6). Nada-nada itulah yang mengiringi lagu-lagu banyumasan. Karena menghasilkan nada yang beda pada umumnya, maka Gandaliya tidak mudah untuk dimainkan. Sulit itu tidak berarti tidak bisa dipelajari. Jika memang sungguh-sugguh mempelajari, pasti bisa dikuasai. Selagi masih ada para ahli yang bisa memainkannya. Ya, saat ini memang hanya orang-orang tua saja yang bisa memainkan Gandalia. Ketua Kasepuhan Adat Kalitanjung, Tambaknegara, Kecamatan Rawalo, Banyumas, Muharto, saat ini hanya tertinggal empat warga yang bisa memainkan alat musik Gandaliya di desanya. "masing-masing yaitu Turmidi (77), Sanwiyata (82), Kusmareja (67), Kusmeja (82), diaman keempatnya masih memiliki pertalian saudara satu sama lain," kata dia. Meskipun hanya ada empat nada pada alat musik ini, tetapi bisa dikatakan lebih rumit dari pada calung maupun angklung yang memiliki tujuh tangga nada. Selain itu, alalt musik ini juga memiliki ukuran yang relatif besar. Dalam memankannya pun Gandaliya harus digantungkan. Keempat orang yang mengusai alat musik asal Banyumas ini sudah memaikan bambu besar tersebut sejak usih kecil. Saat menemani ayahnya ke sawah atau kebun, mereka mulai belajar alat tersebut. Ya, karena dahulu Gandaliya memang menjadi teman para petani saat menunggui sawahnya. Dari pada ngelamun bengong, para petani menghibur diri dengan maminkan Gandaliya. Salah satu pemain Gandaliya, Turmidi, menuturkan bahwa dia mulai belajar Gandaliya sejak usianya masih sekitar sepuluh tahun. Ia dituruni ilu itu oleh ayahnya, baik saat di lahan garapan maupun ketika santai di rumah. Menurut dia, para pemain Gandaliya merupakan keturunan Ki Bangsa Setra yang mendiami desa tersebut sekitar tahun 1900-an. "Saat menunggu bibit tanaman yang masih kecil atau bahkan saat menjelang paenen, alat musikl ini dibawa masuk ke dalam lahan garapan untuk dimainkan, selain menghibur diri juga berguna sebagai pengusir babi hutan yang hendak menyerang atau merusak tanaman," jelasnya. Diusianya yang sudah senja, Tumidi nampak samangat menceritakan hal-hal terkait dengan alat musik yang dicintainya itu. Kata dia, Gandaliya biasanya mengiringi tembang-tembang macapat. Didalam kesendirian menjaga lahannya, para petani terdahulu memainkan alat musik ini sendiri dengan melantunkan kalimat-kalimat penuh makna. "Orang-orang dahulu sangat suka macapat, kalimatnya penuh arti, jadi menunggunya tidak terasa bosan," ujarnya. Namun, nasib Gandaliya saat ini sangat memperihatinkan. Pemainnya hanya ada empat, sementara yang mampu membuat alat musik ini hanya ada satu di warga di dusun Kali Tanjung. Padahal, menurut Tumidi, para pemain Gandaliya merupakan keturunan Ki Bangsa Setra yang mendiami desa tersebut sekitar tahun 1900-an. Kondisi yang genting ini tidak bisa terus menerus dibiarkan. Gandaliya harus dipertahankan. Karena, ini sebuah karya putra Banyumas. Keberadaanya bisa menambah warga budaya kota berjuluk Satria. Meskipun dahulu dimainkan sebuah saung yang berada di hutan atau ladang, gandaliya sekarang dipentaskan dalam sebuah pertujukan atau bahkan pamean budaya. Semangat warga setempat mempertahankan gandaliya mendapatkan dukungan dari Pemda, melalui Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata (Dinporabudpar). Oleh warga setemmpat, gandaliya rutin dimainkan saat masuk pada bulan sura. Enatah bagaimana mulanya, hal itu kini menjadi sebauh kebiasaan. Kebangkitan gandaliya sejak sekitar tahun 2010 silam, semoga akan terus bersinar. Sehingga warna-warni seni dan budaya di kota Satria semakin ramai dan beragam.

Komentar

  1. Wah...jangan sampe cuma 4 orang saja yang menguasai permainan Gandaliya, harus ada pewaris dan penerus.. harus!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baturaden, Wisata Alam juga Wisata Malam

Pangandaran, Batu Hiu dan Batu Karas

CURUG PENGATEN (Kalipagu Baturraden)